BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Etika bisnis adalah salah satu hal yang harus diperhatikan
oleh suatu perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Etika bisnis dalam suatu
perusahaan dapat menunjukkan seberapa baik perusahaan tersebut dalam
menjalankan bisnisnya. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang mampu
membentuk suatu nilai, norma, dan perilaku baik itu pimpinan maupun para
karyawannya, serta dapat mempertahankan hubungan yang sehat terhadap para pelanggan,
pemegang saham, maupun masyarakat yang berada dilingkungan perusahaan berdiri.
Pada era globalisasi sekarang ini, perusahaan membutuhkan
adanya kemampuan dalam bersaing. Untuk dapat bersaing dengan para pesaing
lainnya tentu saja memiliki etika-etika dalam berbisnis. Etika dalam berbisnis
menjadi pedoman perusahaan dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari dengan
berlandaskan keadilan, kejujuran, dan sikap professional dari pemimpin dan para
karyawan.
Untuk dapat mencapai kesuksesannya, perusahaan diharapkan
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan tujuan perusahaan,
namun tetap dalam prinsip-prinsip etika bisnis. Kesuksesan suatu perusahaan
tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar perusahaan tersebut mendapatkan
keuntungan, tetapi juga dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan dan etika
yang dijalankan oleh perusahaan tersebut.
Namun belakangan ini sering terjadi kasus pelanggaran etika
dalam berbisnis yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang hanya ingin
mencari keuntungan sendiri tanpa memikirkan dampak dari pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan. Perusahaan-perusahaan tersebut seolah-olah tidak tahu-menahu
dan melepas tanggung-jawabnya akan pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran etika bisnis dalam perusahaan sangat banyak
contohnya. Namun yang akan dibahas kali ini adalah "Pelanggaran Etika
Bisnis Perusahaan PT. Pelabuhan Indonesia II dan PT. Hutchison Port
Indonesia di Terminal Petikemas (TPK) Koja, Jakarta Utara".
1.2 Perumusan Masalah
Adapun
perumusan masalah yang tersaji dalam beberapa pertanyaan yaitu:
1. Hal apakah yang menjadi penyebab perusahaan melakukan
pelanggaran dalam etika bisnis?
2. Apakah terdapat akibat dari pelanggaran etika bisnis yang
dilakukan oleh perusahaan?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Etika
Kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang
memiliki arti adat istiadat. Dalam kehidupan sehari-hari, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik yaitu baik dalam diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat. Etika juga berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang
baik, aturan kehidupan yang baik dan segala kebiasaan yang dimiliki ataupun
diwariskan dari satu orang ke orang lain ataupun dari satu generasi ke generasi
lainnya.
2.2
Pengertian Etika Bisnis
Etika dalam dunia bisnis atau yang biasa disebut etika bisnis adalah suatu cara
dalam melakukan sebuah kegiatan bisnis yang meliputi keseluruhan aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan, dan masyarakat. Etika bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk suatu nilai, norma, dan perilaku, baik itu pimpinan
maupun karyawan dalam membangun suatu hubungan kerja yang adil dan sehat dengan
para pelanggan, pemegang saham, dan masyarakat. Etika bisnis dapat menjadi
standar atau pedoman untuk melaksanakan seluruh pekerjaan sehari-hari dengan
dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan, dan sikap professional dari
pemimpin maupun karyawan.
Adapun pendekatan-pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis
yang terbagi dalam tiga pendekatan yaitu:
1. Utilitarian Approach: Setiap tindakan yang dilakukan
harus didasarkan pada konsekuensinya. Maka itu, apabila seseorang bertindak
seharusnya mengikuti aturan-aturan yang dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat yaitu dengan cara tidak membahayakan
siapapun dan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
2. Individual Rights Approach: Setiap tindakan seseorang
memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun apabila tindakan tersebut dapat
merugikan hak orang lain maka harus dihindari.
3. Justice Approach: Dalam membuat keputusan, para pembuat
keputusan memiliki kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan
pelayanan terhadap pelanggan baik secara individu maupun kelompok.
BAB III
PEMBAHASAN
TPK Koja adalah sebuah terminal petikemas yang berada di
kawasan tanjung priok, Jakarta Utara. Terminal ini dibangun dan dikelola oleh
PT. Pelabuhan Indonesia II (PELINDO II) dan PT Humpuss Terminal Petikemas
(HTP). Perjanjian kerjasama pembangunan dan pengelolaan dua perusahaan tersebut
dituangkan dalam Perjanjian No. HK 566/6/4/PI.II-94 dan
001/HTP-PI.II/VIII/1994. Kemudian perjanjian kerjasama tersebut diamandemen
menjadi Addendum Perjanjian No. HK 566/2/12/PI.II-99 dan
0012/HTP.PI.II/ADD/III/99. TPK Koja meliputi panjang dermaga sebesar 650 M,
lapangan penumpukan petikemas (container yard) utilitas dan jalan lingkungan
seluas 30,6 Ha, 6 unit container crane, 21 unit transtainer (RTG), 40 head truk
dan 50 chasis.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 yang disusul
dengan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 2000 mengakibatkan PT. HTP menjual
sahamnya sebesar 100% kepada Ocean Deep Investment Holding Ltd. sebanyak 59,6%
dan Ocean East Investment Holding Ltd. sebanyak 40,4%. PT. HTP sempat
beberapa kali berubah nama yaitu PT. Ocean Terminal Petikemas (OTP) dan
kemudian menjadi PT. Hutchison Port Indonesia (HPI). PT. HPI merupakan anak
perusahaan Hutchison Port Holding yang berpusat di Hongkong. Hingga saat ini
TPK Koja telah beroperasi lebih dari 10 tahun dengan troughput tertinggi dicapai
pada tahun 2008 lalu yaitu sekitar 706.000 TEUs dengan keuntungan bersih hampir
Rp 500.000.000.000. Dengan adanya kesepakatan pembagian keuntungan 52,12% untuk
PT. PELINDO II dan 47,88 untuk PT. HPI, TPK Koja merupakan entitas bisnis yang
menguntungkan dan menjanjikan.
Namun dibalik keuntungan yang dinikmati oleh kedua pemilik
tersebut, TPK Koja menyimpan 2 permasalahan besar yaitu:
1. Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan
Menurut
pasal 64 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dinyatakan bahwa penyerahan
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya hanya bisa melalui 2 metode
yaitu: perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja atau
buruh. Dalam pasal 65 dinyatakan pula bahwa pekerjaan yang diserahkan
pengelolaannya tersebut tidak boleh kegiatan pokok dan perusahaan pengelolanya
harus berbadan hukum. Pelanggaran hukum KSO TPK Koja dari sisi ketenagakerjaan
yaitu:
a. Karyawan yang dipekerjakan oleh KSO TPK Koja dalam
melakukan kegiatan pokok pelabuhan bukan merupakan karyawan tetap perusahaan
induknya (PT PELINDO II ataupun PT HPI).
b. KSO TPK Koja bukan perusahaan yang berdiri sendiri, bukan
perusahaan outsourcing, dan bukan perusahaan berbadan hukum tetap tetapi
mempunyai karyawan tetap.
2. Permasalahan Hukum Korporasi
Adapun
permasalahan hukum korporasi TPK Koja dalam pelaksanaannya kegiatannya yaitu:
a. Status kepemilikan 100% saham asing setelah
pengambilalihan PT. HTP oleh PT. HPI. Hal ini menyalahi UU PMA No. 1 tahun
1967; PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000 dimana diatur untuk jasa
kepelabuhanan, PMA hanya boleh mengusai saham maksimal 95%. Bahkan menurut UU
PMA yang baru No. 25 tahun 2007 jo. PP No 77 tahun 2007 menetapkan PMA
hanya boleh mengusai maksimal saham 45% untuk jasa kepelabuhanan. Berdasarkan hal
tersebut keberadaan PT HPI di Indonesia telah menyalahi hukum yang berlaku.
b. Status perjanjian kerjasama Operasi akibat
pengambilalihan PT. HTP oleh PT. HPI. Hingga detik ini belum ada sebuah dokumen
pun yang menyatakan bahwa PT. PELINDO II mempunyai hubungan kontraktual
pengelolaan terminal petikemas dengan PT. HPI. Padahal sejak dilakukan
penjualan saham dari PT. HTP kepada PT. HPI telah dilakukan transaksi dan
korespondensi antara PT. PELINDO II dan PT. HPI. Hal ini terjadi karena belum
diubahnya salah satu subyek dalam perjanjian induk kerjasama sehingga sampai
saat ini yang tercantum masih PT. Pelindo II dan PT. HTP. Akibatnya pelaksanaan
kerjasama saat ini cacat hukum dan menyebabkan ketidak-absahan seluruh hubungan
kontraktual pengelolaan TPK Koja.
c. Perubahan Nomenklatur Jabatan Manajemen KSO TPK Koja.
Berdasarkan perjanjian induk kerjasama operasi, manajemen KSO dikepalai oleh
General Manager yang membawahi 4 deputi GM. Akan tetapi mulai 1 Februari 2007
General Manager dan deputi GM diubah menjadi Direktur Utama dan 5 Direktur.
Perubahan ini tidak dapat dibenarkan secara hukum, karena TPK Koja hanya sebuah
badan bentukan dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai persekutuan
perdata biasa yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Apalagi setelah
perubahan ini para pemangku jabatan kemudian menganalogikan dirinya seperti
para direksi perusahaan perseroan terbatas di lingkungan BUMN dimana mereka
berhak atas gaji besar dan berbagai benefit seperti mobil mewah, kompensasi
sewa rumah, uang pengganti BBM, asuransi jabatan, dan tantiem yang diistilahkan
dengan penghargaan atau insentif manajemen. Secara keseluruhan masing-masing
direksi TPK Koja dalam satu tahunnya bisa berpenghasilan hampir Rp
1.000.000.000. Hal ini harus ditinjau ulang mengingat perubahan nomenklatur
tersebut diindikasikan hanya untuk menguntungkan para pemangku jabatan termasuk
beberapa direksi PT. PELINDO II dalam posisinya sebagai Dewan Pengawas.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dapat
dilihat dalam kasus di atas Perusahaan TPK Koja melakukan pelanggaran etika
hukum ketenagakerjaan dan korporasi. Pihak yang melakukan pelanggaran tersebut
adalah pihak manajemen KSO TPK Koja, pihak PT. Pelabuhan Indonesia II dan pihak
PT. Hutchison Port Indonesia. Pelanggaran tersebut melanggar pasal 64 dan
pasal 65 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, UU PMA No. 1 tahun 1967;
PP No. 83 tahun 2001 dan Keppres 118 tahun 2000, UU PMA No. 25 tahun 2007 jo.
PP No 77 tahun 2007. Akibat dari pelanggaran tersebut adalah pelaksanaan kerjasama
antara PT. PELINDO II dan PT. HPI saat ini cacat hukum dan menyebabkan
ketidak-absahaan seluruh hubungan kontraktual pengelolaan TPK Koja, dikarenakan
tidak ada dokumen yang mengatakan bahwa PT. PELINDO II mempunyai hubungan
kontraktual pengelolaan terminal petikemas dengan PT. HPI.
4.2
Saran
Seharusnya
karyawan TPK Koja melalui serikat pekerja harus lebih berani menggugat kepada
kedua pemilik yaitu PT. PELINDO II dan PT. HPI. Selain itu pemerintah
seharusnya mengambil tindakan menjadikan KSO TPK Koja menjadi unit terminal
petikemas yang keberadaannya tidak terpisahkan dari perusahaan induk PT.
PELINDO II, dimana karyawannya merupakan karyawan tetap Pelindo II dengan tetap
ada pembagian keuntungan dengan PT HPI. Serta menjadikan KSO TPK Koja menjadi
perusahaan yang berbadan hukum tetap (join venture company) dimana karyawannya
menjadi karyawan tetap perusahaan.
SUMBER
REFERENSI: